Ayaka

Namanya Ayaka, dinamakan begitu karena kata ibunya dia lahir saat musim panas di Jepang dan arti namanya berarti ceria. Rasanya nama itu cocok sekali untuk Ayaka. Sepanjang ingatanku, sejak 4 tahun lalu saat pertama kali bertemu dengannya sampai saat ini tak pernah aku melihatnya menangis. Senyuman lebar selalu ada di bibirnya. Sesekali wajah itu terlihat merengut kesal atau terdiam merenung tapi tidak pernah terlihat air mata mengalir di pipinya.

"Ibumu tu cocok kasih lo nama begitu, ya.. lo kayak happy terus. Gak ada beban hidup kayaknya"
"Ada kali mbak, cuma ga keliatan aja. hahaha" tawanya renyah sekali

Dia selalu memanggilku mbak, meski usia kami sebenarnya hanya terpaut 3 tahun. Pernah aku memintanya untuk memanggilku dengan nama saja dan dia tidak mau. "Gak sopan ah" ujarnya.

Dan kali ini wajah yang selalu tersenyum itu tampak basah oleh air mata di hadapanku. Tanpa sadar aku mulai mengerjapkan mata sekedar memastikan itu adalah air mata dan bukan tetesan air hujan dari atap cafe yang sedang kami tempati ini. Aku mencondongkan badanku penasaran ingin bertanya tapi ahh.. baru kali wajahnya tampak begitu sedih, membuatku kelu tak tega rasanya ingin bergurau mengenai air mata itu.

"lo kenapa,ya?" hanya itu yang bisa aku ucapkan. Aku bahkan kehilangan kata-kata melihat wajahnya saat itu.
"aku positif HIV mbak"
ingin rasanya aku bertanya "HIV? kok bisa? gimana ceritanya?" dan sejuta pertanyaan lain, tapi yang keluar dari bibirku hanya sebuah gumaman. Ayaka pun tidak melanjutkan ceritanya. hanya itu. Sebuah kalimat pernyataan yang mengundang banyak tanya.

Disitu, bersamaan dengan hujan turun, aku melihat air mata Ayaka mengalir dan bahunya mulai bergetar menahan tangis dan aku hanya bisa memeluknya. Kami terdiam, berpelukan dan menangis bersama.

Pikiranku mulai menelaah perkataannya. HIV? Bagaimana bisa? Ayaka yang kukenal adalah wanita baik-baik. Sesekali berkencan dengan teman pria tapi hanya sekedar makan malam atau pergi ke cafe. Aku tahu betul karena Ayaka selalu bercerita mengenai semua pria-pria yang sedang dekat dengannya. Ah, Ayaka... 4 tahun aku mengenalmu tapi kini bahkan mungkin ternyata sebenarnya aku tidak mengenalmu sama sekali.

Ntah berapa lama aku terdiam dan Ayaka perlahan mulai berhenti menangis, hanya sesekali air matanya turun. Beberapa pengunjung cafe mulai melirik ke arah kami, merasa iba atau hanya sekedar penasaran dengan situasi yang terjadi.

"Aku dulu punya pacar mbak, 5 tahun lalu. Kami pacaran sudah lama 2 tahun." Ayaka mulai bercerita. Aku menyeruput kopi hitam berusaha mendengarkan dengan seksama meski pikiranku mulai bercabang-cabang berusaha menerka jalan ceritanya.

"Saat perayaan hari jadi kami yang kedua, waktu itu..mmm.." Ayaka tampak mulai canggung, antara enggan melanjutkan tetapi ingin bercerita.

"Gimana ya mbak nyeritainnya, pokoknya ada kesempatan dan tiba-tiba ya begitulah.. tau kan mbak" ia menatapku dengan ekspresi berusaha menjelaskan maksudnya dengan matanya. Tangan kanannya meremas-remas gelas dihadapannya. Gugup.

"Maksudnya berhubungan?" tanyaku perlahan.

"Ya itu" Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kegugupannya menular, aku pun mulai merasa tidak nyaman dengan arah pembicaraan ini. Aku mungkin sudah menikah, tapi rasanya tidak pernah bercerita tentang hal seintim ini meski dengan sahabatku sendiri.

"Gak lama setelah kejadian itu, dia kena sakit cacar air. 6 minggu kemudian dia meninggal" Ia melanjutkan. Lalu terdiam kembali.

Hening

Kenapa aku tidak bisa berkata-kata. Bahkan kalimat turut berduka saja tidak berhasil keluar dari mulutku.

"Aku gak percaya mbak masa cuma cacar air meninggal, teknologi kita kan sudah canggih. Aku tanya sama mamanya, akhirnya mamanya cerita kalau anaknya positif HIV. Itupun beliau kasih tau setelah aku desak mbak. Katanya beliau pun taunya waktu di RS pas pacarku masih dirawat. Infeksi. Daya tahan tubuhnya melemah langsung drop. "

Ayaka memanggil pelayan cafe, meminta minuman kedua.

"Waktu itu aku pikir saat ditinggal adalah waktu terburukku. Ternyata gak. Berita hari ini lebih buruk mbak. Aku baru tau hari ini kalau aku tertular. Hanya sekali melakukan dan aku tertular!! Antara kesal, sedih, campur aduk. Aku harus gimana mbak? 5 Tahun aku berusaha melupakan semuanya dan dalam itungan detik semua kembali. Bang!!" Tangannya mengepal. Antara kesal dan sedih. Aku tidak tahu pasti ekspresinya saat itu.

"Itu yang bikin aku selama 5 tahun ini ragu punya pacar,mbak. Rasanya sulit menemukan lelaki yang tulus menerima masa laluku. Mungkin aku yang sulit percaya juga. Tambah lagi tentang ini. Gimana coba?" air matanya mengalir kembali. Aku mencari tisu di dalam tas. Mataku sudah tidak bisa fokus mencari barang-barang didalam tasku.

"Aku ga tau harus ngomong apa,ya... " akhirnya aku berkata-kata dan yang keluar hanya sebuah kalimat bodoh tidak berarti. Ayo kasih semangat. Otakku berusaha mencari kalimat yang pas tetapi tampaknya otakku sedang tidak bisa berpikir. Aku benci situasi ini.

"Gak apa-apa mbak, aku cuma pengen cerita aja. Hah.. udah lega. Aku udah selesai nangis. Udah" Ayaka menarik nafas panjang beberapa kali dengan mata tertutup. Saat ia membuka mata, bibirnya tersenyum manis. Sama seperti Ayaka yang biasa kukenal.

"udah? Lah.. trus gimana? lo ga lanjut ceritanya ni? that's it?? udahan??" Serasa tak percaya aku bertanya keheranan, bagaimana bisa ada orang yang beberapa saat lalu sedih luar biasa lalu sekarang wajahnya biasa saja seperti tidak ada masalah.

"Udah mbak.. jangan gitu ah, ntar ak inget lagi loh. Mumpung udah hilang ni sedihnya. Masih sedih sih, tapi better lah. Cerita lengkapnya kapan-kapan aja. Kalau aku mood cerita lagi. Sekarang udahan ya. Aku mau cerita yang lain aja. Jadi gimana proyek kerjaan mbak kemaren" Ia mencomot cake coklat yang dari tadi belum tersentuh.

"Mbak! jangan liatin aku gitu ah" tangannya mengibas-ngibas di depan wajahku yang masih melongo keheranan.

"Ya... lo tu ya.. ampun deh! Gue gak tau lagi dah. Bisa ya lo nangis trus tiba-tiba haha hehe begini. Trus lo kalau udahan itu gimana? maksudnya gimana? Lo ga mikir trus gimana? Atau apaaa gitu?" tanyaku gemas.

"Ntar aja mikirnya, lagi males. Ngabisin kue dulu ya" ujarnya sembari asik mengunyah.

Setelah itu waktu kami hanya berbincang ringan, tanpa mengungkit apapun tentang hal yang baru saja ia ceritakan. Saat berpamitan pun wajahnya tersenyum, mencium pipiku dan melambaikan tangannya. Aku menatap punggungnya yang berlalu pergi. Pikiranku masih ingin meneruskan pembicaraan kami. Sudahlah mungkin lain kali saja.

"Gue ga tahu kenapa lo diberi cobaan seperti ini,Ya.. be tough,Ya..lo pasti kuat" bisikku dalam hati.

Hari-hari berikutnya kami hanya saling menyapa di sosmed, kesibukanku pada proyek yang sedang aku jalankan membuatku tidak punya waktu luang untuk bertemu Ayaka. Postingannya di sosmed masih seperti biasa, ringan, cerdas, ceria. Tidak akan ada yang menyangka apa yang sebenarnya sedang dia hadapi. Belakangan aku melihat foto-fotonya di sosmed sedang aktif kampanye anti HIV dan edukasi di dinas sosial tentang HIV/AIDS. Harus seperti inikah jalan hidupmu,Ya? Menjadi contoh untuk kemudian menjadi inspirasi agar tidak banyak orang yang jatuh kedalam lubang yang sama? Tapi kenapa harus kamu? Kenapa tidak orang lain? Apa karena Tuhan tau bahwa cuma kamu yang kuat untuk mengatasi hal ini? Dan cuma kamu yang bisa tetap tersenyum disaat orang lain yang bernasib sama langsung merasa tidak mempunyai harapan hidup lagi? Agar kamu bisa menjadi penyemangat bagi orang lain itu?

Dia Ayaka, Wanita ceria yang lahir di Musim Panas Jepang. Tetaplah tersenyum sahabatku. Meski hidup terkadang kejam, akan selalu ada senyummu yang akan membuatnya indah.

Comments

Postingan terpopuler

Mesin Jahit Portable Mini S2 bermasalah? Perbaiki sendiri yuk

Resign dari PNS

[Review] Laneige Water Bank series ~ Trial Kit